![]()
BNEWS.ID, Kab. Langkat – Ketika hiruk-pikuk kota besar menawarkan kafe kekinian atau gemerlap pantai sebagai tempat menikmati senja, suasana berbeda justru tercipta di sebuah sudut tenang Kabupaten Langkat. Tepatnya di Kwala Begumit, Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, ada tradisi sederhana yang tak lekang oleh waktu, duduk di tepi sawah sambil menanti kereta api melintas di bawah langit senja.
Tradisi ini bukan sekadar kebiasaan singgah di sore hari, tapi telah menjadi bagian dari denyut kehidupan warga setempat. Setiap akhir pekan atau saat hari libur, penduduk setempat dan bahkan sebagian warga luar daerah datang berbondong-bondong ke jalur sawah yang berada di sisi rel kereta. Mereka membawa serta keluarga, tikar, bekal makanan, dan semangat kebersamaan.
Hamparan sawah hijau yang membentang luas berpadu dengan angin sore yang sejuk, menyuguhkan panorama yang menentramkan. Di kejauhan, siluet gunung membingkai langit jingga, sementara suara jangkrik dan desir angin menjadi latar alami yang menemani percakapan ringan di antara keluarga dan sahabat.

Jon, seorang warga Kwala Begumit yang nyaris tak pernah absen menikmati senja di sawah, mengungkapkan betapa momen tersebut begitu berarti bagi keluarganya.
“Sudah jadi kebiasaan warga sini, Bang. Menjelang magrib kami duduk-duduk di pinggir sawah, nunggu kereta api lewat. Sekalian bawa anak, istri, kadang juga sama tetangga. Rasanya damai sekali disini,” ujar Jon, sabtu (19/07/2025) sore.
Menurut Jon, waktu paling menyenangkan untuk berada di lokasi itu adalah mulai pukul 17:00 hingga menjelang 18:30 WIB.
“Kalau jam-jam segitu anginnya sejuk, langitnya cantik, dan suasananya adem. Pas banget buat bersantai sambil ngopi,” tambahnya.
Dikatakan Jon lagi. Kereta api yang melintas dari arah Kota Binjai menuju Stasiun Kwala Bingai menjadi daya tarik tersendiri. Suaranya yang menggelegar dari kejauhan membangun antisipasi, dan saat akhirnya melintas, semua mata tertuju padanya.
“Bagi anak-anak, disini adalah momen yang memukau. Bagi orang tua, itu adalah jeda dari rutinitas yang menenangkan hati,” tutup Jon.

Di samping menjadi tempat bersantai, area tepi sawah ini juga telah menjelma sebagai ruang terbuka bagi berbagai aktivitas lainnya. Anton, warga asli Kwala Begumit, rutin memanfaatkan jalur pematang sawah sebagai lintasan jogging di akhir pekan.
“Kalau saya, biasanya Sabtu atau Minggu pagi sama sore jogging di sini. Udaranya bersih, pemandangan bagus, dan yang paling penting, nggak ramai. Cocok untuk olahraga. Apalagi dekat dengan SMA Negeri 1 Binjai,” ungkap Anton, tampak bersantai bersama istrinya sambil menyeruput kopi dari termos.
Anton menambahkan bahwa tempat ini memberikan ruang untuk sekadar ‘bernafas’. “Di tengah rutinitas kerja, tempat ini jadi semacam tempat pengasingan yang menenangkan. Cukup duduk sebentar, lihat sawah, lihat kereta lewat, hati rasanya lebih ringan,” ujarnya sembari tersenyum.

Keunikan senja di Kwala Begumit tak hanya terletak pada lanskapnya, tetapi juga pada nilai-nilai sosial yang tercipta. Di sini, warga tidak sibuk dengan gawai, tidak sibuk mengambil gambar untuk diunggah ke media sosial. Mereka hadir secara utuh, berbagi tawa, cerita, dan keheningan. Tradisi ini membuktikan bahwa kebahagiaan tidak selalu hadir dalam bentuk hiburan modern kadang, justru ada dalam kebersahajaan dan keintiman.
Ketika kereta akhirnya melintas, deru mesinnya menandai klimaks dari sore yang damai. Banyak warga yang kemudian mengabadikan momen itu dalam foto, bukan sekadar untuk disimpan, tapi untuk dikenang sebagai bagian dari ritus petang yang membumi.
“Suara kereta itu seperti gong penutup sore. Setelah itu, kami beres-beres, siap-siap pulang. Tapi yang paling penting, hati terasa penuh,” ujar Anton menutup percakapan, usai berfoto bersama istri dan anak-anaknya dengan latar belakang langit senja dan rel kereta.

Di tengah arus digitalisasi dan kehidupan serba cepat, Kwala Begumit justru menghadirkan pelajaran penting: bahwa keindahan sejati bisa ditemukan di tempat yang paling sederhana. Sawah, angin, langit senja, dan suara kereta api semua menyatu dalam satu harmoni yang menghadirkan kedamaian dan kebersamaan yang tulus.
Tradisi ini bukan hanya tentang menunggu kereta api, melainkan tentang meluangkan waktu untuk hadir bagi orang-orang tercinta, dan meresapi detik-detik alam yang berjalan perlahan namun pasti. Sebuah warisan budaya yang patut dijaga, karena dari sinilah kita belajar untuk kembali menghargai waktu, keluarga, dan kesederhanaan.
Karya Tulis: Fahmi
Bagikan berita ini :








