Merdeka
Pagi itu Soekarno tampak lemas dan badannya panas dingin, mungkin faktor kelelahan sehari sebelumnya dimana ia berdiskusi hebat di kawasan Rengasdengklok bersama pemuda-pemuda yang mendesak sang founding father untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Sejumlah tokoh sudah hadir di rumah Faradj Martak, saudagar Arab-Indonesia yang telah menghibahkan rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur No 56 Jakarta Pusat sebagai tempat bersejarah hari kemerdekaan Indonesia. Soekarno masih terbaring di tempat tidurnya, ia dihadapkan pada beberapa pilihan yang akan merubah sejarah bagi bangsa ini.
Satu sisi, kalau ia tetap beristirahat di sini maka hari sejarah ini bisa tidak terwujud. Atau bila ia tak segera bangkit maka bisa jadi kesempatan emas ini tak dapat dimilikinya dan direbut tokoh lain. Saat inilah ia harus membuktikan jiwa patriot dan nasionalisnya. Melawan sakit, melawan sedikit siksa dan derita serta bangun dengan pilihan yang tepat. Sehingga sejarah membayar lunas pengorbanannya. Namanya tetap dibaca setiap apel tahunan, namanya tetap dikenang selama negeri ini masih berdiri kokoh di muka bumi.
Jika dahulu, presiden pertama RI itu bangkit dengan niat untuk membebaskan kedzhaliman yang diselenggarakan penjajah terhadap bangsanya, tentunya tak terkira amal jariyah yang pernah beliau lakukan. Jika dahulu, ia pernah berniat bangkit untuk menerapkan keadilan bagi bangsa ini, pasti ganjaran besar yang ia terima.
Kemerdekaan adalah ladang amal bagi para pahlawan terdahulu, kemerdekaan bukanlah wadah seremonial untuk mengumbar aurat, melakukan keburukan, melecehkan makna kemerdekaan dalam merayakannya.
Kalau ditanya, apa makna kemerdekaan bagi saya, maka akan saya jawab, “kemerdekaan adalah kemandirian bangsa dalam berkarya (amal) jariyah tanpa dibayang-bayangi pihak asing”.
#salamcinta