Belanja ke “Pajak” yuk!
Seperti biasa, setiap ahad atau sabtu pagi saya turut menemani istri belanja ke “pajak” tradisional Simpang Limun berkisar 3 KM dari rumah kami. Belanja kok di pajak? Bukankah seharusnya pasar. Ya begitulah, sampai sekarang saya juga masih bingung kenapa orang Medan menyebut pajak sebagai pasar. Ironisnya, justru pasar bermakna jalan raya dalam beberapa omongan masyarakat di sini.
Nuansa “pajak” adalah gambaran kehidupan yang sungguh keras. Berbagai karakter manusia dapat ditemukan di sana, semudah memperoleh ikan asin yang terjajal rapi depan etelase dagangan wak Amin, siapa wak Amin? Sudahlah, lupakan ia sementara.
Di dalam “pajak” ada pedagang ikhlas berjuang menafkahi keluarganya, ada juga pedagang “ugal-ugalan” yang senang menipu dan khianat pada customernya. Terdapat pembeli yang pemurah tak pernah menawar, ada juga pembeli yang hobi nanya saja tanpa membeli satu item apapun, alasannya mahal lah, kurang cantik lah, ntahlah. Ujung-ujungnya ia pergi tanpa kesan dan menggantung perasaan sang penjual. Sakit.
Kadang di dalamnya kita temukan keharuan, ada yang menangis bombay. Ada juga yang tertawa lebay. Ada yang marah-marah sombong, ada juga yang senyum-senyum gak jelas alias pesong. Pokoknya, serba-serbi “pajak” penuh dengan pernak-pernik.
Jika Anda ingin menjadi pemimpin, silahkan bergaul ke ahli “pajak”. Jika Anda ingin mengolah rasa, silahkan jalan-jalan ke “pajak”. Tapi ingat ini bukan pajak kenderaan atau pajak bumi dan bangunan, tapi pajaknya orang Medan. Karena di sini Anda akan mendapat persahabatan baru.
#salamcinta
sumber : https://umarmukhtar.home.blog/2019/08/18/belanja-ke-pajak-yuk/